Rabu, 01 Agustus 2012

Puasa dan Perayaan ‘Kekosongan’


Puasa dan Perayaan Kekosongan
Oleh Asep Andri*

.... karena, kita selalu membutuhkan ruang kosong untuk menerima kehadiran yang lain. Memungkinkan terciptanya siklis dalam aliran kehidupan, hingga membuat kita yakin bahwa tak ada yang baru di bawah mentari.

            Satu hal yang pasti di bulan puasa, pedagang makanan menjadi lebih banyak dari pada biasanya. Bagaimana tidak, inilah bulan ketika segala jenis makanan dan minuman, baik yang punah maupun yang hampir punah, seolah menemukan momentumnya untuk kembali dijajakan. tengoklah sekitar Anda, ingar bingar puasa  tidak lain adalah kemeriahan perihal yang satu ini: trotoar yang dipenuhi jajanan pasar, barisan tukang takjil, deret penjual es buah, eksotisme gerombak angkringan, warung makan yang malu-malu, dan tentu banyak lagi.  Hingga akhirnya, puasa seolah hanya sebatas perayaan atas tuntutan satu hal: Perut.
            Tidak bermaksud reduktif. Tentu puasa tidak sesederhana itu. Selalu ada yang kita dapatkan selain bau mulut dan getirnya haus dan lapar di bulan puasa. Tapi saya bukanlah seorang religius yang memiliki motif-motif samawi untuk memaknai puasa. Anda barangkali memiliki teks suci sebagai sandarannya. Tapi saya tidak hendak membahas itu.
            Seperti yang kita tahu, puasa merupakan perintah Allah SWT sekaligus kesempatan untuk manusia membuktikan ketaqwaan-nya. Namun di sisi lain, Ramadhan adalah masa ketika hasrat perut menjadi fokus utama untuk dikendalikan atas keimanan yang sadar. Bagaimana konsep ketaqwaan yang begitu absurd mesti dipertautkan dengan permasalahan perut yang profan dan kasat? ataukah memang perut memiliki andil yang besar terhadap segala laku-lampah manusia di dunia, hingga masalah ketaqwaan seseorang adalah juga masalah perut? Bisa jadi begitu.
            Bukan Pertentangan Kelas, Tetapi Pertentangan Perut
            Sedikit saya mengutip manifesto-nya Marx, bahwa sejarah kehidupan  tercipta tidak lain sebatas sejarah pertentangan kelas.  Barangkali marx ada benarnya, walau lebih banyak salahnya. Namun saya tidak mesti mengulang ikhtiar dari Gramsci untuk mengkritisi teori tersebut. Saya hendak memberikan perspektif lain, bahwa bisa jadi tidak hanya pertentangan kelas yang mempengaruhi sejarah, namun pertentangan perut pun turut membentuk itu. Bagaimana?
Kehidupan ini mengalir bersama kelindan berbagai kebutuhan diri, dari yang spiritual sampai yang material, yang akhirnya akan berujung pada pemuasan perut: Tukang becak mencari penumpang; dosen yang mengajar; koruptor; pencuri; pemuka agama; bahkan saya sendiri menulis  atas dasar kebutuhan perut. Anda berhak tidak setuju. Tapi sukar dipungkiri bahwa hasrat perut, barangkali secara tidak sadar atau tidak, sebenarnya menjadi stimulus utama segala tingkah laku kita, baik mengenai cara kita menentukan pilihan atau terlebih cara kita berfikir. Mungkin ini menjadi jawaban ketika bulan puasa, entah kenapa, kita jadi lebih tertarik melihat acara demo masak atau sejenisnya ketimbang acara lain. Atau orang-orang yang memutuskan menjadi pengemis, pengamen, pemulung dan lainnya, tidak lain karena dipengaruhi oleh kebutuhan perut mereka yang mendesak untuk dipenuhi.
            Sepertinya saya tidak harus menggambarkan betapa seramnya kehidupan zaman purba yang kanibalis akibat nafsu lapar mereka yang tak tertahan. Kita harus mengakui, bahwa perut memiliki pengaruh yang signifikan dalam kehidupan seseorang. Permasalahan perut adalah permasalah paling primitif yang harus dipenuhi oleh seseorang dalam hidupnya. Ketika lahir, kebutuhan perut menjadi kebutuhan pertama yang menuntut untuk dipenuhi.  Atau barangkali, perut telah menjadi simbol dalam diri manusia: Ia adalah kutukan dari keterjatuhan manusia di muka bumi ini. Melambangkan keterbatasan manusia sebagai makhluk profan yang dipenjara oleh segala kebutuhan infantil. Melempar manusia kedalam nganga yang kelam oleh ragam hasrat duniawi, mimpi. harapan, menjadi budak atas segala pemuasan yang nihil. Perut adalah nganga yang menuntut untuk diisi. Kekosongan yang mengharap pemenuhan yang paripurna.
            Hal tersebut membuat kita mengerti, keserakahan para elit negeri ini tidak lain karena kebodohan atas pemenuhan nafsu perut. Segalanya seolah ingin ditelan dan dikunyah masuk kedalam ruas-ruas dinding usus. Hingga akhirnya mereka diperbudak oleh perutnya sendiri. Kita diharuskan memiliki kontrol atas segala impuls kebutuhan perut kita sendiri, jika kita tidak ingin diperbudak olehnya. Dan barangkali benar, sejarah kehidupan ini tidak lain adalah sejarah pertentang perut: sebuah gerak siklis abadi antara lapar dan pemenuhannya, antara kekosongan dan isi.
            Manusia dan Kekosongan
            Sebelumnya, kita perlu menyadari bahwa kehidupan selalu mengambil tempat di dalam ruang (space). Semenjak manusia lahir, ia harus menciptakan ruang bagi eksistensi dirinya. Ketika diri mencoba menjelaskan Aku, maka pada saat yang sama sebenarnya ia juga mendistansi Aku keluar dari diri dan menempatkannya dalam objeksi. Ketika menjawab pertanyaan "siapa Aku?" dengan jawaban "Aku adalah .... ", maka pada saat itu terdapat "Aku" yang lain yang dikeluarkan dari aku-yang-berbicara dan karenanya ada ruang antara Aku yang mengucapkan dan Aku yang tengah dijelaskan dalam ucapan. Selalu terjadi keterbelahan, jarak, dan keretakan dalam setiap penjelasan diri atau apapun. Kita terlempar dari kekosongan, mengisinya, kemudian kosong kembali. Dan seterusnya.
            Begitu pula dengan proses kelahiran manusia. Janin hadir dalam "ruang kosong" pada rahim serta keluar melalui (mulut) vagina untuk masuk  dalam ruang kosong lain, yaitu dunia. Ketika manusia mati, ia pun menuju apa yang disebut 'tiada' atau 'ketiadaan', yang dalam hal ini bisa pula dibaca kekosongan. Bahkan dalam agama tertentu, terdapat pengetahuan mengenai perjalanan menuju Nirwana atau Moksa yang bisa diartikan sebagai perjalanan menuju ketiadaan atau kekosongan. Sampai di sini saya telah mengajak Anda menelusuri multisipitas pembahasan mengenai kekosongan atau nganga dalam kehidupan. Namun, bukan hanya semesta kehidupan ini saja yang di dalamnya terdapat nganga yang memungkinkan 'yang lain' bisa hadir, tetapi diri masing-masing subjek pun adalah sebuah nganga yang muncul dari keretakan atau keterbelahan setiap kali subjek berusaha menjelaskan atau menegaskan eksistensinya. Ini mirip dengan falsafah Cina yang mengatakan "isi adalah kosong, kosong adalah isi."
            Semua itu menjelaskan satu hal bahwa manusia tidak bisa lepas dari kekosongan. Karena hanya dengan kondisi tersebut, kita bisa menerima kehadiran yang lain: Kebijaksanaan, makna hidup, iman, eksistensi, logos, atau bahkan Tuhan. Inilah barangkali yang menjadi spirit dari berpuasa. mengosongkan perut dengan segala hasratnya adalah usaha untuk memberi ruang akan datangnya yang lain: ruang kosong dalam diri kita memungkinkan terjadinya pola siklis yang akan terus mengalir bersama hikmah Tuhan yang mungkin akan hadir. Sehingga haus dan lapar ketika berpuasa, mampu memberi pengaruh yang luar biasa. Islam menggolongkannya sebagai manusia taqwa. Nietzche menyebutnya Ubermensch.
yang Ubermensch, yang Bertaqwa
            Diri, pada dasarnya bergerak dari kekosongan menuju kekosongan. Namun karena kosong itulah sejatinya ia juga menjadi terbuka pada yang lain (the Other, Liyan). Dalam filsafat barat, filosofi kekosongan ini hadir dalam guncangan nihilisme Nietszchean yang membunuh Tuhan dengan melingkarkan waktu. Melalui konsep kekembalian abadi-segala-sesuatu (The eternal reccurences of the same), Nietzsche memaklumatkan bahwa manusia terjebak dalam nihilisme di gerbang waktu. Waktu, tidaklah membentang linear antara 'Hari Penciptaan' dan 'Hari Akhir' namun melingkar mempertemukan jalan-menuju-masa-lalu dan jalan-menuju-masa-depan tepat digerbang waktu kita sekarang mengada, yakni 'saat' ini. Ketika manusia lahir di muka bumi, ia harus menjalani apa yang sudah pernah dijalani manusia-manusia sebelumnya. Apa yang menjadi masa lalu akan terulang lagi menjadi masa depan. Dan ketika segalanya tak lebih dari pengulangan, maka sebenarnya manusia berjalan di tempat, berjalan dalam nihilisme, berjalan dalam kekosongan.
            Nietzsche mengajak manusia menyadari kekosongan, menyadari 'saat', serta mengafirmasi segala arus hasrat yang erus-menerus mengaliri kekosongan dengan ketakpastian. dengan cara inilah manusia bisa terbuka dengan yang lain, menyambut sebagai kemungkinan, yang menjadi satu-satunya peluang yang melampaui kekosongan, banalitas, serta melampaui manusia itu sendiri. Di sinilah kita kemudian merenung bersama Nietzche mengenai Ubermensch. Ubermensch digambarkan Nietzche sebagai sosok manusia ideal yang mampu keluar dari nihilisme hidup. Berhasil mengisi linearitas kekosongan yang ada. Memperlakukan waktu 'saat' sebagai titik balik memperbaiki kualitas diri.
            Dengan kesadaran tersebut, kekosongan yang kita rasakan ketika puasa adalah keterbukaan kita untuk menyambut nilai-nilai Tuhan yang akan hadir: kepedulian sosial, kebijaksanaan, keimanan atau lainnya. Sehingga, walau pun kita tahu bahwa tak ada yang baru di bawah mentari, namun kita selalu yakin, bahwa selalu ada misteri di bawah rembulan__hikmah yang bisa kita dulang dalam linearitas hidup ini. Itulah yang membuat kita mampu mencintai hidup bukan karena kita terbiasa hidup, namun karena kita terbiasa mencintai: membuat kita mampu mengais hikmah-hikmah luhur dari euforia bulan ramadhan: Sehingga, trotoar yang dipenuhi jajanan pasar, barisan tukang ta'jil, deret penjual es buah, eksotisme gerombak angkringan, warung makan yang malu-malu, dan lainnya, adalah perayaan kekosongan yang infantil namun tetap sakral. Dan perut menjadi sekedar penampung makanan yang menanti untuk kemudian dikeluarkan.[]

*Asep Andri, santri di KPC-DIY (Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Cirebon D.I. Yogyakarta).