Puasa
dan Perayaan ‘Kekosongan’
Oleh Asep Andri*
.... karena, kita selalu membutuhkan ruang kosong untuk
menerima kehadiran yang lain. Memungkinkan terciptanya siklis dalam aliran
kehidupan, hingga membuat kita yakin bahwa tak ada yang baru di bawah mentari.
Satu hal
yang pasti di bulan puasa, pedagang makanan menjadi lebih banyak dari pada
biasanya. Bagaimana tidak, inilah bulan ketika segala jenis makanan dan
minuman, baik yang punah maupun yang hampir punah, seolah menemukan momentumnya
untuk kembali dijajakan. tengoklah sekitar Anda, ingar bingar puasa tidak lain adalah kemeriahan perihal yang
satu ini: trotoar yang dipenuhi jajanan pasar, barisan tukang takjil, deret penjual es buah, eksotisme gerombak
angkringan, warung makan yang malu-malu, dan tentu banyak lagi. Hingga akhirnya, puasa seolah hanya sebatas
perayaan atas tuntutan satu hal: Perut.
Tidak
bermaksud reduktif. Tentu puasa tidak sesederhana itu. Selalu ada yang kita
dapatkan selain bau mulut dan getirnya haus dan lapar di bulan puasa. Tapi saya
bukanlah seorang religius yang memiliki motif-motif samawi untuk memaknai
puasa. Anda barangkali memiliki teks suci sebagai sandarannya. Tapi saya tidak
hendak membahas itu.
Seperti
yang kita tahu, puasa merupakan perintah Allah SWT sekaligus kesempatan untuk
manusia membuktikan ketaqwaan-nya. Namun di sisi lain, Ramadhan adalah masa
ketika hasrat perut menjadi fokus utama untuk dikendalikan atas keimanan yang
sadar. Bagaimana konsep ketaqwaan yang begitu absurd mesti dipertautkan dengan
permasalahan perut yang profan dan kasat? ataukah memang perut memiliki andil
yang besar terhadap segala laku-lampah manusia di dunia, hingga masalah
ketaqwaan seseorang adalah juga masalah perut? Bisa jadi begitu.
Bukan
Pertentangan Kelas, Tetapi Pertentangan Perut
Sedikit
saya mengutip manifesto-nya Marx, bahwa sejarah kehidupan tercipta tidak lain sebatas sejarah
pertentangan kelas. Barangkali marx ada
benarnya, walau lebih banyak salahnya. Namun saya tidak mesti mengulang ikhtiar
dari Gramsci untuk mengkritisi teori tersebut. Saya hendak memberikan
perspektif lain, bahwa bisa jadi tidak hanya pertentangan kelas yang
mempengaruhi sejarah, namun pertentangan perut pun turut membentuk itu.
Bagaimana?
Kehidupan
ini mengalir bersama kelindan berbagai kebutuhan diri, dari yang spiritual
sampai yang material, yang akhirnya akan berujung pada pemuasan perut: Tukang
becak mencari penumpang; dosen yang mengajar; koruptor; pencuri; pemuka agama;
bahkan saya sendiri menulis atas dasar
kebutuhan perut. Anda berhak tidak setuju. Tapi sukar dipungkiri bahwa hasrat
perut, barangkali secara tidak sadar atau tidak, sebenarnya menjadi stimulus
utama segala tingkah laku kita, baik mengenai cara kita menentukan pilihan atau
terlebih cara kita berfikir. Mungkin ini menjadi jawaban ketika bulan puasa,
entah kenapa, kita jadi lebih tertarik melihat acara demo masak atau sejenisnya
ketimbang acara lain. Atau orang-orang yang memutuskan menjadi pengemis,
pengamen, pemulung dan lainnya, tidak lain karena dipengaruhi oleh kebutuhan
perut mereka yang mendesak untuk dipenuhi.
Sepertinya
saya tidak harus menggambarkan betapa seramnya kehidupan zaman purba yang
kanibalis akibat nafsu lapar mereka yang tak tertahan. Kita harus mengakui,
bahwa perut memiliki pengaruh yang signifikan dalam kehidupan seseorang. Permasalahan perut adalah permasalah paling
primitif yang harus dipenuhi oleh seseorang dalam hidupnya. Ketika lahir,
kebutuhan perut menjadi kebutuhan pertama yang menuntut untuk dipenuhi. Atau barangkali, perut telah menjadi simbol
dalam diri manusia: Ia adalah kutukan dari keterjatuhan manusia di muka bumi
ini. Melambangkan keterbatasan manusia sebagai makhluk profan yang dipenjara
oleh segala kebutuhan infantil. Melempar manusia kedalam nganga yang kelam oleh
ragam hasrat duniawi, mimpi. harapan, menjadi budak atas segala pemuasan yang
nihil. Perut adalah nganga yang menuntut untuk diisi. Kekosongan yang mengharap
pemenuhan yang paripurna.
Hal
tersebut membuat kita mengerti, keserakahan para elit negeri ini tidak lain
karena kebodohan atas pemenuhan nafsu perut. Segalanya seolah ingin ditelan dan
dikunyah masuk kedalam ruas-ruas dinding usus. Hingga akhirnya mereka
diperbudak oleh perutnya sendiri. Kita diharuskan memiliki kontrol atas segala
impuls kebutuhan perut kita sendiri, jika kita tidak ingin diperbudak olehnya.
Dan barangkali benar, sejarah kehidupan ini tidak lain adalah sejarah
pertentang perut: sebuah gerak siklis abadi antara lapar dan pemenuhannya,
antara kekosongan dan isi.
Manusia
dan Kekosongan
Sebelumnya,
kita perlu menyadari bahwa kehidupan selalu mengambil tempat di dalam ruang (space).
Semenjak manusia lahir, ia harus menciptakan ruang bagi eksistensi dirinya.
Ketika diri mencoba menjelaskan Aku, maka pada saat yang sama sebenarnya
ia juga mendistansi Aku keluar dari diri dan menempatkannya dalam
objeksi. Ketika menjawab pertanyaan "siapa Aku?" dengan jawaban
"Aku adalah .... ", maka pada saat itu terdapat
"Aku" yang lain yang dikeluarkan dari aku-yang-berbicara dan
karenanya ada ruang antara Aku yang mengucapkan dan Aku yang tengah
dijelaskan dalam ucapan. Selalu terjadi keterbelahan, jarak, dan keretakan
dalam setiap penjelasan diri atau apapun. Kita terlempar dari kekosongan,
mengisinya, kemudian kosong kembali. Dan seterusnya.
Begitu
pula dengan proses kelahiran manusia. Janin hadir dalam "ruang
kosong" pada rahim serta keluar melalui (mulut) vagina untuk masuk dalam ruang kosong lain, yaitu dunia. Ketika
manusia mati, ia pun menuju apa yang disebut 'tiada' atau 'ketiadaan', yang
dalam hal ini bisa pula dibaca kekosongan. Bahkan dalam agama tertentu,
terdapat pengetahuan mengenai perjalanan menuju Nirwana atau Moksa yang bisa
diartikan sebagai perjalanan menuju ketiadaan atau kekosongan. Sampai di sini
saya telah mengajak Anda menelusuri multisipitas pembahasan mengenai kekosongan
atau nganga dalam kehidupan. Namun, bukan hanya semesta kehidupan ini saja yang
di dalamnya terdapat nganga yang memungkinkan 'yang lain' bisa hadir, tetapi
diri masing-masing subjek pun adalah sebuah nganga yang muncul dari keretakan
atau keterbelahan setiap kali subjek berusaha menjelaskan atau menegaskan
eksistensinya. Ini mirip dengan falsafah Cina yang mengatakan "isi adalah
kosong, kosong adalah isi."
Semua
itu menjelaskan satu hal bahwa manusia tidak bisa lepas dari kekosongan. Karena
hanya dengan kondisi tersebut, kita bisa menerima kehadiran yang lain:
Kebijaksanaan, makna hidup, iman, eksistensi, logos, atau bahkan Tuhan. Inilah
barangkali yang menjadi spirit dari berpuasa. mengosongkan perut dengan segala
hasratnya adalah usaha untuk memberi ruang akan datangnya yang lain: ruang
kosong dalam diri kita memungkinkan terjadinya pola siklis yang akan terus
mengalir bersama hikmah Tuhan yang mungkin akan hadir. Sehingga haus dan lapar
ketika berpuasa, mampu memberi pengaruh yang luar biasa. Islam menggolongkannya
sebagai manusia taqwa. Nietzche menyebutnya Ubermensch.
yang Ubermensch, yang Bertaqwa
Diri, pada dasarnya bergerak
dari kekosongan menuju kekosongan. Namun karena kosong itulah sejatinya ia juga
menjadi terbuka pada yang lain (the Other, Liyan). Dalam filsafat barat,
filosofi kekosongan ini hadir dalam guncangan nihilisme Nietszchean yang
membunuh Tuhan dengan melingkarkan waktu. Melalui konsep kekembalian
abadi-segala-sesuatu (The eternal reccurences of the same), Nietzsche
memaklumatkan bahwa manusia terjebak dalam nihilisme di gerbang waktu. Waktu,
tidaklah membentang linear antara 'Hari Penciptaan' dan 'Hari Akhir' namun
melingkar mempertemukan jalan-menuju-masa-lalu dan jalan-menuju-masa-depan
tepat digerbang waktu kita sekarang mengada, yakni 'saat' ini. Ketika manusia
lahir di muka bumi, ia harus menjalani apa yang sudah pernah dijalani
manusia-manusia sebelumnya. Apa yang menjadi masa lalu akan terulang lagi
menjadi masa depan. Dan ketika segalanya tak lebih dari pengulangan, maka
sebenarnya manusia berjalan di tempat, berjalan dalam nihilisme, berjalan dalam
kekosongan.
Nietzsche
mengajak manusia menyadari kekosongan, menyadari 'saat', serta mengafirmasi
segala arus hasrat yang erus-menerus mengaliri kekosongan dengan ketakpastian.
dengan cara inilah manusia bisa terbuka dengan yang lain, menyambut sebagai
kemungkinan, yang menjadi satu-satunya peluang yang melampaui kekosongan,
banalitas, serta melampaui manusia itu sendiri. Di sinilah kita kemudian
merenung bersama Nietzche mengenai Ubermensch. Ubermensch
digambarkan Nietzche sebagai sosok manusia ideal yang mampu keluar dari
nihilisme hidup. Berhasil mengisi linearitas kekosongan yang ada. Memperlakukan
waktu 'saat' sebagai titik balik memperbaiki kualitas diri.
Dengan
kesadaran tersebut, kekosongan yang kita rasakan ketika puasa adalah
keterbukaan kita untuk menyambut nilai-nilai Tuhan yang akan hadir: kepedulian
sosial, kebijaksanaan, keimanan atau lainnya. Sehingga, walau pun kita tahu
bahwa tak ada yang baru di bawah mentari, namun kita selalu yakin, bahwa selalu
ada misteri di bawah rembulan__hikmah yang bisa kita dulang dalam linearitas
hidup ini. Itulah yang membuat kita mampu mencintai hidup bukan karena kita
terbiasa hidup, namun karena kita terbiasa mencintai: membuat kita mampu
mengais hikmah-hikmah luhur dari euforia bulan ramadhan: Sehingga, trotoar yang
dipenuhi jajanan pasar, barisan tukang ta'jil, deret penjual es buah, eksotisme
gerombak angkringan, warung makan yang malu-malu, dan lainnya, adalah perayaan
kekosongan yang infantil namun tetap sakral. Dan perut menjadi sekedar
penampung makanan yang menanti untuk kemudian dikeluarkan.[]
*Asep Andri, santri di
KPC-DIY (Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Cirebon D.I. Yogyakarta).