Sabtu, 30 Juni 2012

Menakar Problematika Kaum Pelajar-Mahasiswa

      Satu dasawarsa, bangsa Indonesia menuju proses demokrasi yang lebih mapan belum didukung penuh oleh peran aktif masyarakat sipil dalam membangun pondasi demokrasi. Di mana peran masyarakat sipil dalam demokratisasi di Indonesia telah dipaparkan oleh Andiwijayanto d.k.k., bahwa peran masyarakat sipil sebagai pilar demokrasi merupakan hal yang dapat dipahami karena aktifitas-aktifitas yang dilakukan oleh mereka dapat membawa rakyat akar rumput ke arah yang lebih partisipatoris.

       Terkait mengenai peran masyarakat sipil umum, kami mempertanyakan kembali peran dan posisi organisasi pelajar —yang secara langsung sebagai masyarakat sipil— saat ini gerakannya sudah mulai lamban dan menurun. Lantas, bagaimana memformulasikan kembali moral gerakan sosial kaum pelajar-mahasiswa dalam proses aktuailisasi diri bersama bergandeng tangan dengan rakyat akar rumput?. Persoalannya, pelajar tidak lagi peduli melihat sekitarnya yang masih memerlukan uluran tangan mereka dalam proses pendampingan dan pendidikan masyarakat. Dengan harapan rakyat dapat meningkatkan pengetahuan penuh dan kesadaran mereka dalam menghadapi demokratisasi yang sedang berlangsung. Setidaknya ada dua alasan mendasar yang dinilai lamban dan menurun pada gerakan oarganisasi pelajar.
      Pertama, kesan yang dapat ditangkap setelah gerakan maha dahsyat di era 98-an berhasil dalam membawa perubahan tetapi tidak diikuti oleh gerakan intelektual muda (pelajar-mahasiswa) lewat pendampingan ke masyarakat bawah. Kedua, kemunculan organisasi pelajar yang ber-genealogi jelas, saat ini telah terinduksi oleh aktor eksternal. Hal ini menimbulkan gerakan mereka semakin dinilai semu. Karena mereka tidak mampu memetakan permasalahan rakyat secara nyata, dan tidak lain dikarenakan dominannya peran aktor eksternal yang dimainkan. Sehingga mereka harus mengikuti dan menyebarkan nilai-nilai dan pembangunan yang dianutnya.
       Prof. Dr. Koentjaraningrat menyatakan: “Modernisasi tidak harus, atau bagi kita mungkin tidak boleh berarti westernisasi.” Hal ini ditegaskan pula oleh mantan Ketua Umum organisasi kedaerahan Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Cirebon Daerah Istimewa Yogyakarta, mengungkapkan bahwa kita tidak bisa memaknai secara tepat mengenai modernisasi. Sehingga menurutnya budaya atau gaya hidup pelajar-mahasiswa yang sedang menjamur adalah “Mahasiswa Sinetron”. “Penjelasan dari istilah “mahasiswa sinetron” sebenarnya sederhana saja, kalau Bapak filsafat modern, Descartes mengintikan ajaran filsafatnya pada sebaris kalimat: Cogito Ergo Sum (aku berfikir, maka aku ada), kemudian pemikir muslim Nashr Hamid Abu Zayd berparadigma: Ana Ufakkiru fa ana Muslim (aku berfikir maka aku muslim); maka “mahasiswa sinetron” kurang lebih bersemboyan: ‘Aku bergaya maka aku ada,’ tandasnya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar